Selasa, 13 Juli 2010

Gesang


Gesang atau lengkapnya Gesang Martohartono (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 20 Mei 2010 pada umur 92 tahun) adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Indonesia. Dikenal sebagai "maestro keroncong Indonesia," ia terkenal lewat lagu Bengawan Solo ciptaannya, yang terkenal di Asia, terutama di Indonesia dan Jepang. Lagu 'Bengawan Solo' ciptaannya telah diterjemahkan kedalam, setidaknya, 13 bahasa (termasuk bahasa Inggris, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang)
Gesang tinggal di di Jalan Bedoyo Nomor 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo bersama keponakan dan keluarganya, setelah sebelumnya tinggal di rumahnya Perumnas Palur pemberian Gubernur Jawa Tengah tahun 1980 selama 20 tahun. Ia telah berpisah dengan istrinya tahun 1962. Selepasnya, memilih untuk hidup sendiri. Ia tak mempunyai anak.
Gesang pada awalnya bukanlah seorang pencipta lagu. Dulu, ia hanya seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan saja di kota Solo. Ia juga pernah menciptakan beberapa lagu, seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan, pada masa perang dunia II. Sayangnya, ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, pada tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Gesang sempat dikabarkan meninggal dunia pada tanggal 18 Mei 2010 setelah kesehatannya dilaporkan memburuk.[2]
Gesang dilarikan ke rumah sakit akibat kesehatannya menurun pada Rabu (19/05/2010). Selanjutnya, Gesang harus dirawat di ruang ICU sejak Minggu (16/5) karena kesehatannya terus menurun. Rumah sakit membentuk sebuah tim untuk menangani kesehatan yang terdiri dari lima dokter spesialis yang berbeda. Hingga akhirnya beliau meninggal pada hari Kamis (20/05/2010) Pukul 18:10 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta.[3]

Minggu, 11 Juli 2010

keroncong tugu


Kisahnya berawal saat jatuhnya Malaka dari kekuasaan Portugis ke tangan Belanda pada 1648. Orang-orang Portugal yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam dari Bengali, Malabar, dan Goa ditawan kemudian dibawa ke Batavia. Sekitar 1661 mereka dibebaskan kemudian dimukimkan di rawa-rawa sekitar Cilincing, sekarang disebut Kampung Tugu. Komunitas yang mempertahankan bahasa dan kebudayaan Portugis ini awalnya menjadi sedemikian ekslusif. Bahkan menempati jabatan-jabatan rendah di pemerintahan yang waktu itu tentu tertutup untuk pribumi.

Pihak Belanda memaksakan agama serta nama-nama keluarga yang baru kepada mereka. Namun musik Portugis dan kesadaran akan darah Portugis tetap hidup. Dari sinilah dendang Keroncong Tugu ditabuh. Selama abad ke-18 dan 19, komunitas Tugu mempunyai pengaruh kultural yang relatif kuat di Jakarta. Merekalah yang mempopulerkan “Kroncong Mourisko” (Mourisco dalam bahasa Portugis berarti “berasal dari orang Moro”) yang ritme dasarnya dijadikan latar belakang sebagian musik modern Indonesia. Seperti halnya keroncong lama “Nina Bobo” yang dinyanyikan banyak orang. Kata “Nina” berasal dari kata Portugis “Menina” yang berarti anak gadis kecil.

Pada masa kemerdekaan komunitas ini terpecah dan sebagian menyebar ke beberapa daerah. Hal ini disebabkan kedekatan mereka dengan pihak Belanda yang tentunya waktu itu sangat dibenci. Satu kelompok (26 keluarga) berangkat ke Belanda dan kelompok lain (19 keluarga) pindah ke Bandung dan Irian Jaya.

Adalah Samuel Quiko, 60 tahun, salah satu bagian keluarga besar fam Quiko yang masih tinggal di Tugu dan memimpin Musik Keroncong Cafrinho Tugu. Sebagai generasi ke-7 Keroncong Tugu usahanya tak kenal lelah untuk terus menghidupkan kesenian ini.

Ada tiga hal yang bertahan dalam tradisi Keroncong Tugu, yaitu alat musik, lagu-lagu (repertoar), dan kostum pemainnya. Alat musiknya masih tetap seperti tiga abad yang lalu, yakni keroncong, biola, okulele dengan lima senar, banyo, gitar, rebana, kempul dan sello. Lagu-lagu yang tidak pernah ditinggalkan adalah lagu-lagu lama, Kaparinyo, Moresco, dan lagu-lagu stambul Betawi. Sedangkan kostumnya, memakai baju koko, topi baret dan syal yang mengantung di leher.

Meskipun tidak setenar diawal abad kemunculannya, Keroncong Tugu kini tetap eksis dan masih dapat dinikmati. Bersama 8 orang anggotanya kelompok Samuel sesekali ditanggap di berbagai tempat di luar kampungnya. Saat ini di dalam komunitas Keroncong Tugu tidaklah melulu berisi keluarga saja, beberapa adalah kerabat jauh yang bahkan tanpa ikatan darah. Mereka ini sama sekali tidak menggantungkan nafkahnya dari pentas keroncong, tetapi mencari nafkah utama dengan berbagai pekerjaan. Undangan pentas keroncong hanya sebagai selingan. Di luar undangan pentas, kelompok ini melakukan latihan setiap Selasa malam.

Bagi masyarakat Kampung Tugu sendiri, keroncong sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Orang-orang yang lewat bisa saja numpang mampir menyanyi atau menari ketika kelompok ini sedang melakukan latihan di kampung mereka. Setelah itu, ngeloyor begitu saja melanjutkan aktivitas lainnya. Akhirnya alunannya seperti denyut kehidupan itu sendiri. Sesekali menghiasi malam penuh kenangan.